Foto Banjir Jakarta tanggal Januari 2013, Lokasi Kebon pala Jatinegara dan Pluit |
Banjir, saat kita lontarkan pernyataan maupun pertanyaan tentang banjir pasti hampir
semua orang menjawab, bahkan berebut berkomentar perihal banjir. Dari komentar
yang paling biasa atau flat yang menyatakan bahwa banjir adalah "takdir", hingga
tudingan mengenai kecerobohan pemerintah tentang pengelolaan kota yang salah pasti
dapat kita dengarkan atau kita ketahui melalui banyak sumber yaitu media cetak,
media elektronik maupun jejaring sosial.
sementara respon Pada masyarakat mengatakan bahwa penyebab banjir ada pada
Pemerintah karena suka korup dalam pengalihan fungsi lahan dari RTH menjadi hutan beton,
tumpang tindih proyek tentang sungai dan yang parahnya lagi adalah ketidakjelasan siapa
yang harus mengelola sungai. Hingga saya berani menjamin sepanjang hari, hingga hari ini
tanggal 7 Feb 2013. kita dapat melihat ribuan komentar mengenai banjir, ribuan keluhan
tentang banjir sekaligus puluhan cara yang dianggap sebagai solusi. Namun semuanya belum
menemukan cara yang paling sinergis untuk benar-benar menjadi solusi yang nyata.
sementara pada sisi pemerintah, pernyataan yang terlontar mengenai penyebab banjir lebih
banyak menyalahkan kepada kelompok masyarakat. Baik masyarakat asli yang tinggal di
bantaran sungai, daerah tangkapan DAS, penduduk musiman maupun penduduk pendatang
yang dianggap menyebabkan berkurangnya lahan yang menyebabkan penyempitan badan
sungai maupun sempadan sungai yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, dijadikan tempat
sampah sehingga akhirnya menyebabkan pendangkalan sungai. kalau sudah begini, lalu siapa
yang salah dan siapa yang benar?? Semuanya menjadi bias, kedua-duanya pemerintah
maupun warga negara sama-sama menjadi korban banjir. Baik warga yang tinggal
dibantaran sungai, perumahan elit hingga istana negara yang didalamnya terdapat
orang no 1 dinegara ini.
Pemerintah dan warga negara menjadi kelompok yang berseteru sekaligus menjadi korban
banjir yang ternyata memiliki persepsi berbeda mengenai banjir yang terjadi. Bahkan
keduanya memiliki keberagaman berfikir yang seharusnya bisa dipertemukan menjadi
tindakan yang nyata untuk pengelolaan air, sungai demi meminimalisir akan ancaman resiko
banjir. Namun mempertemukan ide maupun keberagaman pemikiran tersebut tentu saja
tidak mudah (katanya), sehingga selalu saja terjadi proyek-proyek yang jelas merugikan
kita semua bahkan mengeruk keuangan negara yang bersumber dari pajak yang diambil dari
warga negara maupun bantuan (baca hutang) dari lembaga internasional maupun bantuan dari
Negara-negara lainnya yang berada di belahan bumi ini yang ternyata dari hari ke hari
hingga tahunan namun tidak pernah mendapatkan solusi yang maupun tindakan nyata yang
benar namun tetap menghabiskan uang negara bahkan bila perlu hutang sekaligus.
Pada saat banjir tepatnya tanggal 15 januari 2013 pukul 01.10 wib, saya mencoba masuk
ke pemukiman warga yang terkena banjir dengan ketinggian 100-120cm untuk menggali
cerita, dari beberapa orang yang saya temui berikut ini Sedikit cerita mengenai obrolan
saya dengan warga perihal banjir dan bagaimana solusinya?
Abah amran 42 th, warga kebon pala, kelurahan kampung melayu. merupakan warga asli
kampung tersebut menyatakan bahwa kami sudah jenuh dengan banjir. Kerugian yang
ditimbulkan memang tidak terlalu banyak secara finansial karena warga disini menganggap
dampak kebakaran jelas lebih merugikan ketimbang banjir besar. Lalu ketika ditanya
apakah abah punya solusi untuk mengatasi banjir? Beliau menjawab, "saya punya solusinya"
adapun rangkumannya sebagai berikut :
- mengembalikan sempadan sungai yaitu 15M. Pengetahuan mengenai hak sungai yang
memiliki ketentuan sempadan 15m diwilayah kiri dan kanan sungai ternyata sudah banyak
warga yang mengetahui hal tersebut, namun hal ini belum dapat direalisasikan karena kami
hanya bertahan disini dan tidak pindah menuju hunian yang layak dan ramah manusia
dikarenakan kami tidak memiliki uang untuk membeli rumah maupun tanah yang harganya
tiap tahun semakin mahal, sementara tanah yang paling murah di Jakarta yaitu berada
dipinggir kali dengan kisaran harga Rp. 300.000 per meter. Maka kami memilih tinggal
disitu karena menurut kami tempat ini ramah kantong dan ramah rumah tangga.
- kami tidak menolak bila harus digusur atau direlokasi dari bantaran sungai guna
mengembalikan hak sungai yaitu keberadaan sempadan sungai, asalkan pemerintah mau
memberikan ganti untung bukan ganti rugi. Coba bayangkan jika kami digusur lalu
diberikan ganti rugi maka kami tidak dapat membeli kehidupan kami kembali karena uang
yang diberikan tidak cukup untuk “Move on” apalagi tinggal di wilayah baru.
- setelah digusur, lalu apa yang diharapkan? Jika kami sudah digusur maka kami berharap
pemerintah mau menjadikan pinggir kali menjadi kebun yang ditanamai dengan pohon buah
sehingga warga yang tidak terkena gusuran dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk
anak-anak bermain bahkan jika memungkinkan itu bisa menjadi sumber penghidupan baru
yaitu berdagang buah dari hasil yang didapatkan dari kebun yang berada di pinggir kali.
- Selain itu, kami juga mengaharapkan pemerintah mau membuat tanggul yang tentunya
tanggul tradisional bukan turap beton supaya kondisi air tanah kami tidak rusak
dikarenakan terjadi pemaksaan perubahan kondisi tanah yang secara otomatis juga
merubah kondisi aliran air bawah tanah yang ada.
- apakah ada solusi lain selain solusi tadi? Iya ada, saya mau jika memang harus bayar
atau menyumbangkan uang sebesar Rp 5000 - 50.000 kepada Pemprop DKI Jakarta untuk
menangani banjir, tentu saja kami mau, asalkan Pemprop DKI memastikan bahwa tidak ada
lagi banjir sampai 50th kedepan atau lebih setelah mereka menerima uang sumbangan kami
untuk pengelolaan sungai supaya tidak terjadi banjir. Saya jamin pasti masyarakat yang
tinggal di Jakarta pasti mau menyumbangkan uangnya jika memang Pemda DKI tidak
memiliki anggaran untuk itu.
Berdasarkan obrolan ringan tersebut, saya memberanikan diri menarik kesimpulan antara
lain :
- warga bantaran bersedia direlokasi dari pemukiman yang berada di bantaran sungai
ketempat yang lebih manusiawi lagi
- bantaran sungai atau sempadan dijadikan RTH dan ditanami pohon buah lokal sehingga
masyarakat dapat mengelola RTH tersebut sehingga ada kepedulian secara bersama-sama
- pembangunan tanggul yang ramah terhadap sumber air tanah masyarakat
- warga bersedia membayar demi kenyamanan hidup yang jauh dari ancaman banjir maupun
ancaman bencana lainnya
Jika terjadi sinergitas antara program yang digadang-gadangkan oleh pemerintah yang
diadaptasi dari pemikiran masyarakat, maka banjir besar yang dianggap "takdir Tuhan"
barangkali bisa digeser pemahamannya menjadi "banjir merupakan akumulasi kesalahan
manusia yang melupakan bagaimana mengelola air dengan benar, karena Tuhan menciptakan
air dengan kodrat menempati daerah yang paling rendah"
Jadi tidak ada salahnya jika kita saling
berkaca dan tentunya juga diimbangi dengan tindakan untuk ambil peran dalam
pengelolaan air dengan cara2 yang paling mudah yaitu tidak membuang sampah
sembarangan maupun kondisi lainnya yang sesuai dengan kondisi lingkungan
masing2 dari membuat lubang biopori hingga sumur resapan. sehingga tidak semua
air yang seharusnya menjadi berkah malah menimbulkan bencana bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar