Translate

Rabu, April 04, 2018

Si Tengik dan Hitam Penghasil Uang



Minyak Bekas/Jelantah yang ditampung saat ini

Mengepul minyak jelantah merupakan agenda baru dalam bisnis perlimbahan yang boleh dibilang merupakan passion bagi gw. Yaitu, Tukang Sampah. Jelantah merupakan salah satu sampah/limbah cair yang biasanya mendapatkan perlakuan sama seperti sampah maupun limbah lainnya, yaitu, dibuang sembarangan.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, gw baru mampu mengumpulkan minyak jelantah 500kg yang dibeli dari 2 pedagang pecel lele berbeda. Kok gw ngerasa ada yang salah yak sama diri sendiri…! Kenapa gw mau-mauan membeli limbah jelantah. Udah gitu, musti keluar uang tambahan untuk membeli wadahnya, yaitu, jirigen yang harganya lebih mahal sedikit dari sebungkus dji sam soe.
Dalam perjalanan mengumpulkan jelantah, ada rasa campur aduk disitu. Seperti minyak yang dipakai berulangkali dan menggoreng makananan yang berbeda-beda. Gw share dari rasa yang paling senang dulu, yaitu, perasaan bahwa gak banyak pesaing dalam mengumpulkan minyak bekas pakai ini. Eh ternyata perasaan senang tersebut salah, cuy.

Saat gw coba mendalami dengan mendatangi berbagai macam sumber limbah ini, mulai dari yang kelas keren, seperti restoran, cafe, pengusaha catering, fastfood sekelas om Ronald, om colonel hingga warung pecel lele baik yang dipinggir jalan hingga ruko. ataupun sengaja nyepikin abang-abang tukang gorengan. Ternyata apa yang gw temukan justru jauh dari rasa GR diawal yang gw miliki. Pfffftt..

Ternyata hitam dan tengiknya jelantah mengundang banyak perhatian bagi orang-orang di dunia hitam dan dunia terang, sebab terdapat potensi ekonomi berkelanjutan, baik skala local maupun skala interlokal (internasional).

Cerita Penggunaan Minyak Goreng hingga jadi jelantah dan jadi minyak goreng (lagi)

Minyak goreng sehari-hari yang kita konsumsi, bisa dipastikan bahwa minyak tersebut berasal dari industry kelapa sawit, dan kalo boleh dibilang, minyak kelapa sawit ini adalah minyak mainstream bagi banyak orang indonesia. Jadi wajar saja jika banyak hutan Indonesia yang habis dibabat untuk pemenuhan produksi minyak ini.

Minyak kelapa sawit yang paling bagus, biasanya akan digunakan oleh resto, cafe, fastfood dan catering. Dan para pengguna jenis ini biasanya hanya akan menggunakan untuk sekali pakai. Mereka tidak akan mencari resiko untuk memakainya berulang kali hanya karna khawatir memakan biaya produksi yang tinggi namun merusak citarasa masakan.
Untuk mengurangi biaya produksi yang tinggi dalam satu kali penggunaan/goreng, minyak bekas pakai di level ini akan dijual lagi ke level yang lebih rendah, yaitu, pecel lele, pret chiken, bahkan ke abang-abang penjual gorengan. Harga minyak sekali pakai ini cukup bervariasi, yaitu, Rp. 4000 s/d Rp. 8000/kg.

Penggunaan minyak bekas pakai bagi pecel lele, pret chiken dan abang-abang gorengan dikarenakan dua hal, pertama, minyak yang berasal dari restoran, café, fastfood dan catering ternyata lebih gurih-gurih nyoy ketimbang membeli minyak sawit biasa. Kedua, membeli minyak jenis ini ternyata jauh lebih murah ketimbang membeli minyak baru.

Pasca digunakan oleh pecel lele, pret chiken, dan gorengan, seharusnya minyak ini sudah tidak layak lagi digunakan karna secara tampilan minyak ini akan berwarna kehitaman. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi orang-orang dari dunia hitam. Minyak jelantah dengan nilai ekonomis rendah akan mereka beli kembali untuk dipergunakan sebagai minyak goreng dengan cara disaring, kemudian diendapkan dan diberi pewarna. Sehingga minyak terlihat seperti minyak yang belum digunakan atau seperti minyak curah.

Minyak Bekas Pecel Lele
Bagi kelompok pedagang gorengan, minyak hitam tersebut tidak pernah mereka buang atau jual untuk dijadikan bahan bakar. Minyak yang sudah hitam biasanya akan ditampung untuk diendapkan sehingga sisa-sisa gorengan ataupun serpihan tersebut turun ke bawah dan minyak dengan kualitas buruk tersebut akan dicampur dengan minyak yang katanya masih baru untuk menyamarkan warna dan meningkatkan kualitas minyak.



Sambel yang enak itu berasal dari limbah minyak

Penggunaan minyak hitam bagi pedagang pecel lele maupun ayam goreng agak sedikit berbeda dengan tukang gorengan. Dari sekian banyak warung pecel lele ataupun tukang ayam goreng yang gw sambangi, abang maupun ibu pemilik warung pecel lele mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai sisa minyak. Setiap harinya minyak tersebut selalu habis digunakan kembali.
Minyak jelantah bekas menggoreng ayam, ikan, lele dan kawan-kawannya malam sebelumnya akan dibawa pulang sehingga mereka tidak perlu menggunakan minyak baru untuk mengolah bahan baku sambal. Minyak jelantah tersebut akan dipergunakan kembali untuk menggoreng bawang dan cabe yang merupakan bahan baku sambel sebagai padanan bagi ayam maupun lele yang dijual.

Saat gw menyambangi beberapa pedagang pecel lele, ayam goreng dan sejenisnya, gw menemukan resep baru untuk membuat sambel yang nikmat sebagai padananan lauk yang disajikan. Minyak yang sudah dipakai berkali-kali dan berwarna hitam tersebut biasanya digunakan juga sebagai bahan campuran pembuatan sambel. Jadi jika boleh gw bilang bawa sambel yang enak itu berasal dari campuran cabe, bawang, tomat dan sedikit minyak jelantah bekas menggoreng ayam, ikan dan teman-temannya pada malam sebelumnya.

Jelantah sebagai bahan bakar

Pemanfaatan jelantah sebagai bahan bakar bukan lah hal baru. 10 tahun terakhir ini sudah banyak ditemukan pengepul dan pabrik pengolah jelantah menjadi biosolar. Namun industry ini bersaing ketat dengan pengolah minyak jelantah menjadi minyak masak atau minyak makan.

Persaingan dunia gelap dan dunia terang terus terjadi hingga kini. Jika kota coba telisik lebih dalam, persaingan tersebut berada di wilayah yang sangat samar. Banyak pemain dunia hitam yang menyamarkan dirinya saat akan membeli jelantah dengan menyatakan bahwa minyak tersebut akan diolah menjadi bahan bakar.

Metode pengolahan jelantah menjadi bahan bakar maupun menjadi minyak goreng untuk makanan hanya berbeda sedikit. Namun orang yang berasal dari “dunia terang dengan keterbelakangan pola pikir”, mereka akan memilih cara lain memanfaatkan minyak jelantah, minyak jelantah yang berhasil dikepul biasanya akan dijual ke depo pengolahan jelantah di dunia terang dan jelantah tersebut akan diolaah kembali menjadi bahan bakar, menjadi biosolar. Pemilihan ini didasari pada pengurangan resiko kerusakan lingkungan dan pengurangan resiko kanker yang disebabkan oleh banyaknya zat karsiogenik yang terkandung dalam minyak jelantah. Tentunya bagi tukang sampah seperti gw, gw akan memilih dan mendukung pemanfaatan jelantah sebagai bahan bakar sehingga mengurangi beban kerusakan lingkungan dan kerusakan badan karna zat-zat karsiogenik yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan.  

Kalian Mau tau caranya mengolah jelantah jadi bio solar?

Jawab gw singkat, lo googling aja dah..! sebab gw belom nyampe situ, gw belom mempraktekan mengolah minyak bekas/jelantah menjadi biosolar. Jadi belom bisa menuliskan atau memvideokan. Kalo gw udah pernah nyoba, pasti gw akan berbagi.



Jakarta, 04 April 2018.



Tidak ada komentar:

Disqus Shortname

Comments system