Minyak Bekas/Jelantah yang ditampung saat ini |
Mengepul minyak jelantah merupakan agenda
baru dalam bisnis perlimbahan yang boleh dibilang merupakan passion bagi gw.
Yaitu, Tukang Sampah. Jelantah merupakan salah satu sampah/limbah cair yang biasanya
mendapatkan perlakuan sama seperti sampah maupun limbah lainnya, yaitu, dibuang
sembarangan.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, gw baru
mampu mengumpulkan minyak jelantah 500kg yang dibeli dari 2 pedagang pecel lele
berbeda. Kok gw ngerasa ada yang salah yak sama diri sendiri…! Kenapa gw
mau-mauan membeli limbah jelantah. Udah gitu, musti keluar uang tambahan untuk
membeli wadahnya, yaitu, jirigen yang harganya lebih mahal sedikit dari
sebungkus dji sam soe.
Dalam perjalanan mengumpulkan jelantah, ada
rasa campur aduk disitu. Seperti minyak yang dipakai berulangkali dan
menggoreng makananan yang berbeda-beda. Gw share dari rasa yang paling senang
dulu, yaitu, perasaan bahwa gak banyak pesaing dalam mengumpulkan minyak bekas
pakai ini. Eh ternyata perasaan senang tersebut salah, cuy.
Saat gw coba mendalami dengan mendatangi
berbagai macam sumber limbah ini, mulai dari yang kelas keren, seperti
restoran, cafe, pengusaha catering, fastfood sekelas om Ronald, om colonel
hingga warung pecel lele baik yang dipinggir jalan hingga ruko. ataupun sengaja
nyepikin abang-abang tukang gorengan. Ternyata apa yang gw temukan justru jauh
dari rasa GR diawal yang gw miliki. Pfffftt..
Ternyata hitam dan tengiknya jelantah
mengundang banyak perhatian bagi orang-orang di dunia hitam dan dunia terang,
sebab terdapat potensi ekonomi berkelanjutan, baik skala local maupun skala
interlokal (internasional).
Cerita
Penggunaan Minyak Goreng hingga jadi jelantah dan jadi minyak goreng (lagi)
Minyak goreng sehari-hari yang kita
konsumsi, bisa dipastikan bahwa minyak tersebut berasal dari industry kelapa
sawit, dan kalo boleh dibilang, minyak kelapa sawit ini adalah minyak
mainstream bagi banyak orang indonesia. Jadi wajar saja jika banyak hutan
Indonesia yang habis dibabat untuk pemenuhan produksi minyak ini.
Minyak kelapa sawit yang paling bagus,
biasanya akan digunakan oleh resto, cafe, fastfood dan catering. Dan para
pengguna jenis ini biasanya hanya akan menggunakan untuk sekali pakai. Mereka
tidak akan mencari resiko untuk memakainya berulang kali hanya karna khawatir
memakan biaya produksi yang tinggi namun merusak citarasa masakan.
Untuk mengurangi biaya produksi yang tinggi
dalam satu kali penggunaan/goreng, minyak bekas pakai di level ini akan dijual lagi
ke level yang lebih rendah, yaitu, pecel lele, pret chiken, bahkan ke
abang-abang penjual gorengan. Harga minyak sekali pakai ini cukup bervariasi,
yaitu, Rp. 4000 s/d Rp. 8000/kg.
Penggunaan minyak bekas pakai bagi pecel
lele, pret chiken dan abang-abang gorengan dikarenakan dua hal, pertama, minyak
yang berasal dari restoran, café, fastfood dan catering ternyata lebih
gurih-gurih nyoy ketimbang membeli minyak sawit biasa. Kedua, membeli minyak
jenis ini ternyata jauh lebih murah ketimbang membeli minyak baru.
Pasca digunakan oleh pecel lele, pret
chiken, dan gorengan, seharusnya minyak ini sudah tidak layak lagi digunakan
karna secara tampilan minyak ini akan berwarna kehitaman. Namun hal tersebut
tidak berlaku bagi orang-orang dari dunia hitam. Minyak jelantah dengan nilai
ekonomis rendah akan mereka beli kembali untuk dipergunakan sebagai minyak
goreng dengan cara disaring, kemudian diendapkan dan diberi pewarna. Sehingga
minyak terlihat seperti minyak yang belum digunakan atau seperti minyak curah.
Minyak Bekas Pecel Lele |
Bagi kelompok pedagang gorengan, minyak
hitam tersebut tidak pernah mereka buang atau jual untuk dijadikan bahan bakar.
Minyak yang sudah hitam biasanya akan ditampung untuk diendapkan sehingga
sisa-sisa gorengan ataupun serpihan tersebut turun ke bawah dan minyak dengan kualitas
buruk tersebut akan dicampur dengan minyak yang katanya masih baru untuk
menyamarkan warna dan meningkatkan kualitas minyak.
Sambel
yang enak itu berasal dari limbah minyak
Penggunaan minyak hitam bagi pedagang pecel
lele maupun ayam goreng agak sedikit berbeda dengan tukang gorengan. Dari
sekian banyak warung pecel lele ataupun tukang ayam goreng yang gw sambangi,
abang maupun ibu pemilik warung pecel lele mengatakan bahwa mereka tidak
mempunyai sisa minyak. Setiap harinya minyak tersebut selalu habis digunakan
kembali.
Minyak jelantah bekas menggoreng ayam,
ikan, lele dan kawan-kawannya malam sebelumnya akan dibawa pulang sehingga
mereka tidak perlu menggunakan minyak baru untuk mengolah bahan baku sambal.
Minyak jelantah tersebut akan dipergunakan kembali untuk menggoreng bawang dan
cabe yang merupakan bahan baku sambel sebagai padanan bagi ayam maupun lele
yang dijual.
Saat gw menyambangi beberapa pedagang pecel
lele, ayam goreng dan sejenisnya, gw menemukan resep baru untuk membuat sambel
yang nikmat sebagai padananan lauk yang disajikan. Minyak yang sudah dipakai
berkali-kali dan berwarna hitam tersebut biasanya digunakan juga sebagai bahan
campuran pembuatan sambel. Jadi jika boleh gw bilang bawa sambel yang enak itu
berasal dari campuran cabe, bawang, tomat dan sedikit minyak jelantah bekas
menggoreng ayam, ikan dan teman-temannya pada malam sebelumnya.
Jelantah
sebagai bahan bakar
Pemanfaatan jelantah sebagai bahan bakar
bukan lah hal baru. 10 tahun terakhir ini sudah banyak ditemukan pengepul dan
pabrik pengolah jelantah menjadi biosolar. Namun industry ini bersaing ketat
dengan pengolah minyak jelantah menjadi minyak masak atau minyak makan.
Persaingan dunia gelap dan dunia terang
terus terjadi hingga kini. Jika kota coba telisik lebih dalam, persaingan
tersebut berada di wilayah yang sangat samar. Banyak pemain dunia hitam yang
menyamarkan dirinya saat akan membeli jelantah dengan menyatakan bahwa minyak
tersebut akan diolah menjadi bahan bakar.
Metode pengolahan jelantah menjadi bahan
bakar maupun menjadi minyak goreng untuk makanan hanya berbeda sedikit. Namun
orang yang berasal dari “dunia terang dengan keterbelakangan pola pikir”,
mereka akan memilih cara lain memanfaatkan minyak jelantah, minyak jelantah
yang berhasil dikepul biasanya akan dijual ke depo pengolahan jelantah di dunia
terang dan jelantah tersebut akan diolaah kembali menjadi bahan bakar, menjadi
biosolar. Pemilihan ini didasari pada pengurangan resiko kerusakan lingkungan
dan pengurangan resiko kanker yang disebabkan oleh banyaknya zat karsiogenik
yang terkandung dalam minyak jelantah. Tentunya bagi tukang sampah seperti gw,
gw akan memilih dan mendukung pemanfaatan jelantah sebagai bahan bakar sehingga
mengurangi beban kerusakan lingkungan dan kerusakan badan karna zat-zat
karsiogenik yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan.
Kalian Mau tau caranya mengolah jelantah
jadi bio solar?
Jawab gw singkat, lo googling aja dah..!
sebab gw belom nyampe situ, gw belom mempraktekan mengolah minyak
bekas/jelantah menjadi biosolar. Jadi belom bisa menuliskan atau memvideokan. Kalo
gw udah pernah nyoba, pasti gw akan berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar