Rumah kopi Sarongge, menjadi salah satu lokasi keramaian di minggu siang 10/9/16, suara riuh tersebut ditimbulkan oleh suara anak-anak yang mengikuti kelas pengantar mengenal sampah. 15 orang anak dari berbagai usia maupun kelas mencoba mengenal berbagai macam jenis sampah yang mereka hasilkan setiap hari melalui gambar, setelah sebelumnya anak-anak tersebut secara bersama-sama melakukan kegiatan bebersih (mulung) kampung sebagai cara mengidentifikasi sampah yang ada.
Untuk mengetahui seberapa banyak sampah yang dihasilkan oleh adik-adik yang hadir dalam kegiatan tersebut, nai sebagai fasilitator mencoba mengukur besaran sampah yang dihasilkan oleh adik-adik tersebut melalui besaran uang jajan oleh tiap anak.
Semakin besar uang jajan yang dimiliki oleh tiap anak, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Adapun sampah yang dihasilkan oleh tiap anak adalah sebagai berikut, gelas air minum (teh, sirup), botol minuman, kemasan sachet, baik berupa jajanan tradisional maupun jajan warung, Styrofoam, dll.
Dalam sesi ngobrol tersebut, anak-anak juga bercerita bahwa di jalan kampung, pinggiran kebun, banyak ditemui sampah berserakan. Sementara, sampah non organik yang dibuang warga, saat ini lebih banyak dimusnahkan dengan cara di bakar.
Pernyataan tentang pembakaran sampah juga dikuatkan oleh kelompok ibu yang dilaksanakan pada tanggal 10/09/16 di rumah kopi Sarongge. Ibu Entin selaku warga Rt. 3, menyatakan bahwa Selama ini proses pemusnahan sampah yang dilakukan warga adalah dengan cara membakar sampah tersebut di pelataran rumah masing-masing.
Kreasi tikar dan jauhnya bahan baku
Yuyun, menceritakan pada kami bahwa tikar rajutan yang ia kerjakan telah memakan waktu selama 4 tahun. Dalam proses pembuatan tersebut, Yuyun memperkirakan bahwa ia telah berhasil memanfaatkan 30.000 lembar sachet kopi yang berasal dari pedagang kopi di ibu kota.
Baginya, waktu yang dia dedikasikan untuk merajut sachet kopi menjadi sebuah tikar merupakan hal yang patut dia teruskan. Dia berharap orang di kampungnya dapat ikut serta untuk menyumbangkan sampah sachet kopi, sehingga pemenuhan kebutuhan bahan baku berupa sampah sachet kopi bisa di dapatkan dari sekitar rumah.
Dalam pertemuan kelompok ibu, warga bersepakat bahwa keterlibatan pengolahan sampah dapat dimulai segera, salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah terlibat dalam penghitungan sampah harian rumah tangga yang akan diselenggarakan pada tanggal 30 September - 7 Oktober 2016.
Perhitungan sampah dengan melibatkam rumah tangga sebagai sumber sampah dapat memudahkan proses pengolahan lanjutan. Dalam diskusi ringan tersebut, para ibu menjelaskan bahwa sampah non organik yang mereka hasilkan saat ini yaitu berupa kantong kresek, kemasan detergent, penyedap rasa, kemasan minyak curah, Styrofoam, dll. Belom terkelola dengan baik. Selain itu, hasil dari rajutan yang dikerjakan ibu Yuyun belom terekspos dengan baik di lingkungan Rt 03.
Dengan Mengetahui Besaran volume sampah harian rumah tangga serta jenisnya, dapat memudahkan proses pengolahan sampah lanjutan.
Bucek Berharap warga di lingkungan rumahnya juga bisa terlibat dalam pengumpulan sampah harian. Untuk pemenuhan sampel uji coba penghitungan sampah rumah tangga. Bucek akan meminta keluarganya maupun saudaranya menjadi relawan tersebut.
Bucek menjelaskan bahwa sebelumnya di saung Sarongge pernah terbentuk Bank sampah Sarongge, namun kelompok pengelola tersebut kini berhenti karena sampah yang dikumpulkan oleh pelaksana Bank sampah tidaklah optimal dalam pengelolaannya.
Pengumpulan sampah yang di lakukan selama menyasar sampah yang memiliki nilai ekonomis, seperti sampah gelas plastik, botol plastik, kardus. Untuk sampah yang tidak memiliki nilai ekonomis seperti plastik sachet, dll. Selama ini hanya dibakar untuk mengurangi jumlahnya di lokasi pengolahan sampah.
Problematika pengolahan sampah warga
Gerakan pengolahan sampah (Bank sampah) warga bukan lah isu baru. Tumbuh dan mati suri gerakan ini pun sesuai dengan ritme program pengolahan sampah yang sudah berlangsung semenjak tahun 2008an, Bank sampah, memiliki problem yang sama secara keseluruhan, yaitu, pelayanan yang tidak maksimal baik berupa antar jemput sampah, niai pembagian keuntungan hasil penjualan yang rendah, inovasi pengolahan sampah, besaran volume sampah yang terkelola baik sampah nilai ekonomis, sampah bernilai kreasi serta sampah dengan potensi energi.
Jika kita berkaca pada program pengolahan sampah Sarongge, kendala terbesar bagi kelompok tersebut adalah pelayan antar jemput sampah, dan inovasi pengolahan sampah yang stag.
Sebaran warga desa Sarongge yang berada di kaki gunung Gede-Pangrango menjadi salah satu kendala bagi warga. Berdasar pernyataan warga Rt 03 pada saat pertemuan 10/09/2016, jarak saung Sarongge (lokasi Bank sampah) dengan sumber sampah yang berjauhan membuat pelayanan antar jemput serta pengangkutan sampah menjadi tidak optimal mengingat Rt 03 adalah salah satu Rt yang berada di ketinggian 1200 MDPL.
Efek samping dari rendahnya Inovasi pengolahan sampah di bank sampah Sarongge juga menjadi faktor lainnya dari penyebab mati suri Bank sampah Sarongge. Saat ini, inovasi pengolahan sampah plastik menjadi BBM tengah berkembang pesat di berbagai penjuru Nusantara, namun hal ini inovasi tersebut tidaklah sampai untuk menginspirasi kelompok pengelola Bank sampah Sarongge.
Dengan pengolahan sederhana, sampah plastik yang tidak memiliki nilai ekonomis dapat di sulap menjadi BBM, hasil dari proses pengolahan sampah plastik tersebut dapat digunakan kembali untuk penunjang operasional bank sampah.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar