Translate

Kamis, Maret 03, 2011

“Bumi tidak memerlukan keterpura-puraan kita untuk tetap lestari”

Sekian tahun isu pemanasan global berkembang, menyusut, tenggelam, menghilang dan naik lagi keatas permukaan; isu tersebut hanya dimengerti oleh beberapa kalangan orang yang ada di negeri ini, lebih banyak menjadi konsumsi publik yang sering bersentuhan dengan tulisan-tulisan dan pemberitaan. Isu pemanasan global, atau bahasa fungkehnya bilang “global warming” biasanya dikonsumsi oleh aktifis lingkungan, mahasiswa dan pemerintah.

Kita belum lupa dengan diadakan pertemuan internasional yang diadakan di Bali untuk membahas isu tersebut, para petinggi Negara yang ada di dunia banyak yang menghadiri pertemuan tersebut dan mencoba memberikan solusi yang diklaim ramah lingkungan bagi semua Negara, yah walaupun kita tahu dari beberapa resolusi tersebut justru menguntungkan beberapa pihak lainnya untuk melakukan jual beli karbon.

Dengan bergulirnya isu pemanasan global, dari kalangan “langitan” yang akhirnya terpaksa membumi karena keadaan yang memang menguntungkan isu tersebut untuk terus berkembang dan menjadi momok yang menghawatirkan bagi organisasi lingkungan dan masyarakat yang sadar akan isu tersebut. kekhawatiran tersebut akhirnya memunculkan berbagai reaksi yang berbeda dari setiap orang dengan pemikirannya masing-masing. Reaksi yang paling positif adalah reaksi yang berfikir dan bertindak untuk menjadi pro dengan bumi, ramah lingkungan.

Bahkan menjadikan hidupnya yang awalanya konsumtif, pragmatis menjadi hidup yang “green life style”, 3R, 3R+2R, sahabat bumi, one man one tree, dan menolak penggunaan kantong plastic kemasan dan kantong keresek sebagai wujud nyata untuk menunjukkan eksistensi kepedulian terhadap bumi.

Dengan menggelindingnya bola salju (baca: isu) bernama global warming, disertai dengan longsoran yang menimbulkan efek samping yang besar menyebabkan meningkatnya kesadaran secara terpaksa dan dipaksakan bahwa mencintai bumi untuk menjaga kelestariannya menjadi hal wajib bagi setiap makhluk hidup, khususnya manusia sebagai makhluk yang banyak mengeruk keuntungan dari bumi tanpa timbal balik untuk menjaga kelestarian bumi.

Dibalik besarnya kekhawatiran tentang kondisi bumi yang semakin memburuk, dibalik momok dari dampak perubahan iklim yang kini dirasakan oleh makhluk penghuni. Kita sebagai makhluk hidup yang berakal dan menempati bumi untuk hidup, masih saja melakukan pemerkosaan, perusakan dengan kesengajaan bagi beberapa orang ataupun banyak orang yang sudah mengerti kondisi sekarang ini, yang lebih menyedihkan lagi dari momok perubahan iklim, manusia menjadikannya sebuah komoditas untuk pemuasan pemenuhan hasratnya sebagai makhluk yang konsumtif dan pragmatis.

Perilaku hidup ramah lingkungan yang coba diterapkan oleh banyak orang dalam kesehariannya, diduplikasi oleh kalangan populis yang mengenakan baju atau memasang labeling pada dirinya bahwa dia adalah “makhluk yang peduli” tentang kelestarian bumi. Dengan meningkatnya pola konsumsi isu tentang perubahan iklim, keterpurukan bumi dan isu lainnya mengenai masalah lingkungan. Yang menyebar ke segala penjuru dan akhirnya menjadi bahan “onani intelektual” (baca diskusi) dan menjadi tempat cuci tangan pihak-pihak penyelenggara perusak lingkungan, menyebabkan terbangun sebuah jembatan kepedulian yang coba dibangun melalui event-event bertema “go green” yang nyatanya hanya kesia-sian belaka.

Dalam satu event saja, kita bisa mendapatkan bibit gratis yang kita bawa pulang, diletakan dipelataran rumah, atau sekedar diletakan disekitar tempat parkir, kampus, dan tempat lainnya tanpa perhatian dan perawatan sehingga produsen oksigen gratis tersebut mati secara perlahan tanpa ingatan bagaimana dia menyejahterakan kita dalam keseharian yang kita lalui.

Kita tinggalkan, kita lupakan, kita hanya berfikir bagaimana bisa membuat rangkaian acara “go green” ditempat lainnya dengan yang bekerjasama dengan pihak-pihak perusak lingkungan yang menganggap dengan keterlibatan mereka di event tersebut setidaknya bisa memberikan kontribusi baik bagi kelestarian lingkungan.

Kita tahu bahwa proses pembentukan bumi bertahan lama, memakan waktu jutaan tahun sampai miliyaran tahun, kita juga mengetahui proses pembentukan bumi juga menghasilkan berbagai macam teori yang tidak dapat terbantahkan dengan pikiran kita sendiri.

Tapi kita lupa bahwa proses pembentukan bumi merupakan sebuah rangkaian, yang dimulai dari benturan benda angkasa yang akhirnya menyatu menjadi sebuah gumpalan benda panas yang berputar, kemudian dibagian permukaannya menjadi dingin karna perputaran itu. setelah mengalami pendingan dan membentuk permukaan bumi, Sang bumi mudapun kemudian mengalami sebuah benturan besar oleh benda ruang angkasa lainnya yang membawa sejumlah air, sehingga pasca mengalami tubrukan tersebut bumi mulai memiliki air yang jumlahnya selalu tetap dan sama. sementara dibagian dalammnya (perut bumi) masih menjadi bagian yang sangat panas (lahar), yang ketika keluar menuju permukaan menjadi gas karbon yang memancing siklus lainnya, dan akhirnya membentuk atmosfer sebagai pelindung bagian luar yang berfungsi sebagai tameng yang melindungi siklus tersebut dan akhirnya membentuk rangkaian kehidupan menjadi satu kesatuan dan stabil selamanya.

Namun siklus tersebut terganggu dengan adanya makhluk hidup lainnya yang bernama manusia yang dengan santainya menghasilkan karbon dari pembakaran, yang menyebabkan perubahan siklus bumi dikarnakan jumlah karbon yang dapat dikelola bumi melebihi kapasitas. Bumi sebelumnya tidak pernah mengeluh dengan tambahan karbon dari kontribusi manusia, namun dengan bertambahnya populasi manusia dan membutuhkan lahan yang besar sehingga menyebabkan perubahan fungsi hutan menjadi tempat tinggal. Penebangan hutan, pembalakan liar dan membuang sampah sembarangan menjadi hal biasa saja dalam keseharian manusia.

Efek Negatif Global Warming

Kontribusi karbon yang kita berikan bukan hanya melalui pembakaran atau penggunaan bahan bakar saja, sampah yang kita buang pun merupakan salah satu kontributor dalam perubahan iklim saat ini. Sampah yang kita buang dan menumpuk melepaskan gas metan dalam jumlah besar ke udara dan menyebabkan penumpukan dilapisan atmosfer.

Dengan kondisi perubahan dan beban karbon yang sangat besar, bumi melakukan penyesuaian terhadap kondisi tersebut. Rangkaian bencana alam yang terjadi diseluruh dunia merupakan proses penyesuaian atau adaptasi bumi terhadap kondisi yang perubahannya sangat ekstreem. Bencana yang terjadi merupakan langkah yang diambil bumi untuk menjaga kelestariannya, namun kita sebagai manusia melihat bencana tersebut sebagai sebuah ketentuan tuhan tanpa melihat bahwa bencana yang timbul merupakan buah dari perbuatan kita yang setiap hari merusak, memperkosa, eksploitasi dan membunuh bumi secara perlahan tanpa perasaan bersalah. Bumi menjaga kelestarian, keseimbangan tanpa perlu keterpura-puraan kita, keterlibatan kita sebagai makhluk penghuni bumi untuk menjadi lestari.

Sampah sebagai penyebab

Sungai yang mengalir di Jakarta merupakan tempat sampah terbesar yang ada di ibukota, sebab seluruh sungai yang ada dijakarta, tepatnya 13 sungai yang melewati Jakarta merupakan tempat sampah bagi semua orang, sampah yang masuk kesungai setiap harinya diperkirakan sebanyak 27000 m3, atau setara dengan 1 candi borobudur Dalam 2 hari, sampah yang masuk kesungai dan kemudian mengendap diteluk Jakarta atau laut Jakarta membuat pendangkalan dan kualitas air yang ada diteluk Jakarta sangatlah buruk. Wajar saja jika nelayan Jakarta memilih melaut dan mencari ikan kewilayah lautan terluar Jakarta bahkan sampai Sumatra. Kalaupun masih ada ikan yang dapat ditangkap diteluk Jakarta, dapat dipastikan kondisi ikan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini dikarnakan kondisi perairan Jakarta yang sangat memprihatinkan, Sampah yang masuk kesungai kemudian terbawa arus kelaut, mencemari sungai dan teluk Jakarta.

sampah tersebut juga terbawa arus kewilayah kepualauan seribu. Sehingga jika kita menyisiri laut Jakarta menggunakan perahu kita dapat melihat sampah ikut terbawa arus ke pulau-pulau yang ada di kepulauan seribu kemudian mendiami pulau tersebut selama puluhan tahun tanpa terganggu oleh tangan-tangan manusia yang baik untuk memungutnya dan memasukannya ketempat sampah.

Sebelum sampah masuk kewilayah lautan bebas, khususnya laut ataupun teluk Jakarta, sampah tersebut menyusuri aliran sungai dan menyebabkan pendangkalan, sampai kerusakan ekosistem sungai maupun teluk Jakarta, kapuk muara yang posisinya sebagai hilir dari sungai yang ada di Jakarta yang paling merasakan dampak yang paling parah. Kondisi air sungai di kapuk muara sangatalah tidak memungkinkan untuk dipakai maupun dikonsusmi. Pencemaran air sungai yang sangat parah tersebut juga ikut mencemari air tanah yang ada dikapuk muara. Berdasarkan keterangan pak musa 70 tahun, seorang warga kapuk muara yang telah merasakan hidup lebih dari setengah abad ini mencoba menceritakan bahwa kondisi hilir sungai pada tahun 1970 – 1980an masihlah sangatlah baik, masih banyak ikan yang dapat diambil dan dikonsumsi dari sungai. Kapuk muara merupakan daerah hilir sungai yang selalu merasakan percampuran air laut dan air sungai, sehingga menyebabkan wilayah tersebut menjadi tempat tinggal yang baik bagi beberapa jenis ikan. Ketika terjadi percampuran air sungai dengan air laut dan sebaliknya, warga masih dapat menangkap ikan hanya menggunakan jaring biasa karna banyak ikan yang mabuk dikarnakan percampuran air sungai dan air laut tersebut.

Namun kondisi saat ini sangat memperihatinkan, air sungai sangat hitam, begitu juga dengan air laut. Ketika terjadi percampuran antara air sungai dan air laut. Maka yang terjadi adalah banyak sampah yang masuk kepemukiman warga, bukan lagi ikan seperti pada tahun 1970-1980an. Warga sering mengeluhkan kondisi tersebut sehingga mereka kini berkomitment untuk memulai hidup ramah lingkungan dengan mengolah sampahnya dan melakukan kampanye “banjir tanpa sampah”.

Ibu ida 54 tahun warga kapuk muara rt 03 rw 09 kapuk muara menyebutkan bahwa kami warga kapuk muara kini menyadari bahwa membuang sampah kesungai akan membawa dampak buruk bagi lingkungan kami, lihat air sungai yang kami miliki, lihat air tanah yang kami miliki juga. Betapa buruknya bukan? Air sungai berwarna hitam pekat dan berbau, begitu juga dengan air tanah kami. Kami hanya mengandalkan air PAM untuk mandi dan konsumsi.

Ibu ida merupakan salah satu kader pemerhati lingkungan hidup yang dibina oleh beberapa organisasi yang pernah melakukan pendampingan warga untuk melakukan pengolahan sampahnya sendiri. Beliau juga bercerita, pernah dulu saya mengkampanyekan bahwa sampah adalah harta dan uang yang tertunda. Akhirnya banyak warga yang membuang sampah dan menumpukan sampah didepan rumah saya. Saya mengerti bahwa mereka belum paham dengan pemaknaan bahwa sampah adalah harta dan uang yang tertunda, namun cara mereka memberikan sampah kepada saya sangatlah salah. Beliau juga mengatakan mungkin ini juga salah saya, karna saya hanya menyebutkan saja tapi tidak memberitahukan bagaimana sampah tersebut bisa menjadi harta dan uang. Karna pengalaman tersebut beliau juga tidak henti-hentinya untuk mengkampanyekan kepada warga sekitarnya untuk mengolah sampah.

Pendampingan masyarakat dalam pengolahan sampah sebagi solusi untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengolah sampahnya.

Lain padang lain belalang, mungkin beberapa orang masih mengenal pepatah ini. Pengalaman lainpun terjadi kepada pak junaedi warga sleman jogjakarta, pak juanedi merupakan seorang warga yang sudah mengolah sampah semenjak 11 tahun lalu. Namun perjalanan pak junaedi tidaklah mudah dalam membangun kesadaran warga sekitarnya untuk sadar dan terlibat dalam mengolah sampah. Pak junaedi pernah didemo dan dikudeta dari kepemimpinannya sebagai seorang ketua rt. Beliau didemo berramai-ramai warganya karna mencoba membuat program tentang pengolahan sampah sebagai program utama dalam masa kepemimpinannya sebagai ketua rt.

Setelah program pengolahan sampah dan bank sampah berjalan selama 11 tahun pak junaedi kini menjadi orang yang terkenal diwilayahnya sampai mancanegara, dan sekarang beliau menjadi kandidat penerima kalpataru.

Pak juanedi sebelumnya adalah seorang pegawai bank swasta yang memiliki jabatan dan gaji yang menarik bagi beberapa orang atau mungkin menarik bagi banyak orang, namun beliau merasa jenuh dengan aktifitas pekerjaannya sebagai pegawai bank, akhirnya beliau mengundurkan diri dan berkonsentrasi sebagai kader lingkungan dan mengatur manajerial pengolahan sampah diwilayahnya . Kini setelah menjalankan program pengelolaan sampah selama 11 tahun, pak junaedi dapat membuat bank sendiri, yaitu; bank sampah dengan nama mekar sari. Orang-orang yang dulu pernah mendemo, menghujat dan menurunkannya sebagai ketua rt kini berbalik secara perlahan dan malu-malu untuk ikut terlibat dalam pengolahan dan pengelolaan sampah dan bank sampah yang dimilikinya saat ini.

“Aku ikut program mu yah pak, tapi aku malu loh pak karna aku dulu ikut menyokong untuk menurunkan dirimu saat menjadi ketua rt”

Namun kini hal tersebut berubah, dukungan demi dukungan, tindakan demi tindakan menjadi hal yang wajib bagi pak juanedi dan rekan yang sedang bergelut mengolah sampahnya. Beliau kini sedang sibuk menangani sampah dari pengungsi letusan merapi didaerah pengungsian.

Tidak ada komentar:

Disqus Shortname

Comments system