Translate

Kamis, Maret 03, 2011

Road to Suaka Marga Satwa Muara angke with young Transformers



Segelas kopi hangat menyambut pagi yang bergelayut mendung di kota tua jakarta dan menitikan air dari gumpalan awan, pada sebuah halte, tepatnya halte dekat sisi jalan musium bank indonesia (kota tua), sebuah pertemuan penting diadakan untuk mengekslporasi sisi menarik hutan peninggalan jaman belanda yang sampai saat ini diam dan terancam oleh peliknya kehidupan urban.
saat pagi buta, kami melintasi jalanan yang lengang tanpa kemacetan yang selalu terjadi setiap hari. jalan raya terasa bersahabat, polusi pun tidak terlalu banyak yang keluar dari pipa besi dari sisa pembakaran bahan bakar gas kendaraan yang membawa kami melintasi jalanan Jakarta.
Saat menginjakan kaki di kota tua Jakarta, rayuan musium mengajak kami mampir dan menyusuri bangunan tua tersebut dan awan yang menitikan air tidak dapat menghentikan arah perjalanan kami menuju warisan peninggalan colonial belanda yang memberikan subsidi oksigen gratis, 93 jenis burung yang dapat diamati perilakunya, sarimin yang hidup liar dan buah pidada yang merekah dan terlihat berkeringat karna air hujan yang menempel pada buahnya.
Gerbang besar yang terbuat dari kayu dan bertuliskan selamat datang di suaka marga satwa muara angke terasa hangat dan akrab, walaupun bagi beberapa orang gerbang tersebut tampak terlihat seperti gerbang masuk makam tua yang tak terurus dan menimbulkan jejak mistis yang mungkin mengganggu bagi sebagian orang, namun tidak bagi kami “young transformers”. Sekelompok anak muda yang selalu tertantang untuk datang dan belajar dengan cara yang menyenangkan, menikmati oksigen murni yang dapat diberikan tempat ini untuk 5000 orang yang tinggal di Jakarta, mengintip perilaku burung di puncak pohon yang tersebar di kawasan yang besarnya tak lebih sekitar 25,02 hektar yang berada diwilayah pesisir Jakarta, yang terancam rusak karna perilaku kita. yaitu masyarakat urban Jakarta yang selalu “membuang sampah tempatnya pada kemana” sehingga menjadikan sungai sebagai tempat sampah terbesar di kota ini yang terbentang dari kota bogor sampai teluk Jakarta dan menjadikan sungai sebagai bagian hidup masyarakat kota ini.
Saat kami melakukan eksplorasi didalam kawasan hutan peninggalan belanda, kami menemukan sebuah bangkai biawak dewasa yang sudah terbujur kaku dengan jaring yang menjerat mulutnya, Tepat dibawah jembatan kayu yang kami injak untuk berjalan. Langkahpun kami lanjutkan dan terhenti lagi mengamati padang gelagah dimana biasanya tempat perjumpaan dengan cenni (centrofus nigrorofus atau bubut jawa) yang merupakan salah satu burung langka dan endemic kawasan tersebut. Kami memang tidak dapat melihat langsung burung yang sudah terancam punah ini, namun pelang tipis ukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari baja dan memuat tentang topografi burung bubut jawa setidaknya mengobati rasa penasaran kami untuk mengenalnya lebih jauh. Tiba ditikungan kami dikejutkan oleh sekor burung yang tampak panik saat berjumpa dengan kami. dia berlari, loncat dan masuk kedalam kawasan rumput gelagah dan menghilang. Untungnya kami bisa sedikit mengingat sosoknya yang kemudian kami tuliskan ciri-ciri burung tersebut untuk kami identifikasi jenis apakah burung tersebut.
Sambil bertanya-tanya, kami langkahkan lagi kaki kami dan mengamati sebuah pohon nimpha yang katanya dapat bergerak, berdasarkan cerita yang kami terima. Nimpha adalah salah satu jenis pohon yang dapat bergerak karna beberapa factor pendukung. Namun kami tidak bisa menikmati luasnya danau air payau yang berada didalam kawasan tersebut dikarnakan eceng gondok menutupinya namun hal tersebut tidak membuat kami berhenti, saat mendengarkan kisah si “eceng gondok” yang ternyata bukan berasal dari kota ini maupun Negara ini, kami dihinggapi rasa penasaran yang besar karna seekor burung hitam dan memiliki leher yang panjang terbang tepat diatas kepala kami, lihat seekor burung terbang diatas kita. teriak ulfa salah seorang young transformers. Kemudian dia mengambil binokuler dan mengamati burung tersebut. Lalu dia kembali berkata ; teman-teman lihat kepuncak pohon yang ada diseberang kita, disana banyak burung. Berikan buku panduan yang kamu pegang. Sambil mengintip burung tersebut melalui binokular, ulfa juga menuliskan cirri-ciri burung tersebut yang nantinya akan disamakan dengan buku panduan pengamatan burung yang dipengangnya. Kemudian teman-teman young transformers mulai mengamati perilaku burung tersebut. Lalu keheningan terpecah lagi karna ada burung lainnya yang terbang diatas kepala dengan ciri-ciri berbeda. Kembali kami mencatatkan ciri-ciri burung yang kami temui. Burung tersebutpun terbang menjauh dan masuk kedalam kawasan yang lebih dalam sehingga menuntut kami untuk bergerak mengikuti burung tersebut, namun langkah kami kalah cepat karna beberapa batang kayu yang kami injak sudah lapuk sehingga kami harus ekstra hati-hati untuk melangkah. Ditengah langkah kami mengejar burung tersebut, lagi-lagi langkah kaki kami terhenti karna kami bertemu dengan jenis burung lainnya, namun postur tubuhnya lebih kecil dan warnanya lebih mencolok. Tubuh kecilnya didominasi oleh warna biru dan paruhnya pun tampak sedikit lebih besar, dengan rasa penasaran yang besar kami mencoba mencatatakan ciri-ciri burung tersebut supaya kami mengetahui burung cantik jenis apa yang kami temui ini. Nampaknya burung tersebut mengetahui bahwa kami sedang mengamatinya sehingga dia terbang menjauhi kami dan membuat rasa penasaran kami semakin besar. Ayo kak kita lanjutkan perjalanan kedalam, mungkin akan lebih banyak yang bisa kita temui.
Langkah kami sedikit kami percepat, namun kami sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan ini karna dihadapan kami menunggu segerombol macaca pascicularis (monyet ekor panjang) yang sedang mencari makan tepat dijalan yang akan kami lewati. Dengan perasaan takut dan penasaran, kami melangkah perlahan melewati gerombolan ekor panjang tersebut, dan gerombolan tersebutpun cuek juga. Kamipun bertanya-tanya mengapa si ekor panjang hanya cuek saja saat kami melintasi wilayah teritorinya. Kemudian kami bertanya kepada kakak yang menemani kami mengeksplorasi kawasan tersebut. “kak kok kita tadi waktu lewat tempat monyet kenapa mereka cuek aja yah??” kemudian kami mendapatkan jawaban bahwa monyet yang ada disini adalah monyet liar yang kemungkinan untuk mengganggu sangatlah kecil jika mereka tetap dibiarkan liar, tidak pernah diberikan makanan yang kita bawa, lalu teman-teman young transformers berkata “oooooohhhh begitu yah…” jadi kalau monyet yang ada didalam kawasan ini tidak pernah kita berikan makanan manusia, maka monyet tersebut akan tetap liar yah. Ternyata selain makanan, ada hal lain juga yang mempengaruhi periaku monyet liar yaitu interaksi dengan manusia. Jika si ekor panjang dipelihara, biasanya akan mengalami perubahan perilaku karna ketergantungan yang dibuat oleh manusia terhadap ekor panjang…
“oooooooo” lagi-lagi hanya suara sahutan yang tidak lebih dari beberapa huruf.
Langkah kami pun terhenti karna jalan setapak dari kayu yang kami telusuri sudah berada diujung, pada penghujung jembatan ini kami mencoba mengidentifikasi burung yang kami temui, Dan hasilnya kami dapat mengetahui beberapa jenis burung dari catatan yang kami buat diantaranya adalah: burung pecuk padi, pecuk ular asia, kareo padi, cekakak raja udang, kowak malam kelabu, dan beberapa jenis diantaranya yang masih kami perdebatkan karna pengetahuan kami yang masih minim tentang burung.
Puas mengamati burung dan mengenal kawasan ini, kami lanjutkan aktifitas lainnya. Langkah kami masih dibayangi awan mendung dan rintik hujan yang jatuh dan membasahi badan kami tidak membuat surut perasaan haus untuk belajar.

Belajar pembibitan dan pengolahan sampah kertas di Green camp halimun
Setelah keluar kawasan SMMA, Kami berencana melanjutkan perjalanan menuju green camp halimun untuk mendapatkan pengetahuan tambahan tentang pengolahan sampah kertas. Ditengah perjalanan menggunakan trans Jakarta kami sempat beristirahat sejenak dan sempat tertidur sedikit pulas. Setelah satu jam tiga puluh menit melintasi jalan Jakarta dimulai dari wilayah Jakarta utara (shelter busway pluit) dan berhenti diwilayah Jakarta selatan tepatnya didaerah halimun, kami disambut hangat oleh kawan-kawan green camp halimun yang memang sudah menunggu kami untuk belajar mengolah sampah kertas menjadi kertas baru, namun sebelum mendapatkan bagaimana cara mengolah sampah kertas. Kami mendengarkan cerita tentang berdirinya tempat tersebut sampai sekarang, tempat yang awal peruntukan untuk tiketing water way yang berubah fungsi menjadi tempat yang mengangkut sampah dari sungai ciliwung setiap hari. Sampah yang dapat diangkat setiap harinya kini mulai dimanfaatkan, beberapa jenis sampah yang dimanfaatkan adalah sampah sayuran yang diolah menjadi kompos, sampah plastik yang dijual dan sampah tas yang kemudian dicuci lagi dan diberikan kepada keluarga dirumah bahkan beberapa tas yang diangkat dari sungai tersebut masih bisa dijual kembali kepada tetangga disekitar rumah, begitulah keterangan bang suhud yang kami terima.
Setelah mendengarkan cerita tentang green camp halimun, kami juga menanam pohon cabai yang katanya bibit tersebut didapatkan dari sampah yang dibuang kesungai, cara pembibitan pun dijelaskan oleh bang salam yaitu salah seorang yang bekerja di green camp, selain diajarkan cara pembibitan kami juga diperkenalkan dengan beberapa jenis pohon yang ditanam disana. Kami pun mendapatkan kehormatan untuk menanam bibit cabai yang sudah siap tanam. Pada awalnya kami takut saat menanam cabai karna pasti akan bertemu dengan makhluk penghuni tanah yang berwarna coklat dan berbentuk panjang. Rasa takut tersebut harus kami atasi, karna jika kami tetap dibawah bayang-bayang makhluk tersebut kami tidak akan pernah belajar. Karna rasa penasaran dan hasrat untuk belajar lebih besar sehingga mengalahkan rasa takut atau jijik terhadap makhluk tersebut dan akhirnya kami dapat menanam dua belas bibit cabai.
Setelah selesai menanam, aktifitas kami lanjutkan dengan belajar cara pengolahan sampah kertas. Mengapa sampah kertas kak? Tanya nabila seorang peserta young transformers. Kemudian mengalirlah kata demi kata menjadi sebuah rangkaian cerita dari mana awal kertas tersebut berasal, namun kami dapat menangkap secara general mengenai awal mula kertas berasal yaitu membutuhkan banyak pohon untuk dijadikan kertas. Semakin banyak jumlah kertas yang dibutuhkan, maka semakin banyak pohon yang akan ditebang. Begitulah hukum tentang kebutuhan dasar pembuatan kertas…

Tidak ada komentar:

Disqus Shortname

Comments system